Tahun lalu, sedikitnya 6 kontiner udang kualitas ekspor Indonesia tertahan di pelabuhan Eropa karena kedapatan mengandung antibiotika. Kondisi ini mendorong Departemen Kelautan dan Perikanan untuk menyediakan alat deteksi antibiotika.


Indonesia sering kali mengalami hambatan ekspor udang terutama ke Uni Eropa karena negara-negara tujuan ekspor tersebut menetapkan kandungan nol persen untuk chloramphenicol. Kondisi ini telah berlangsung cukup lama. Dan, nampaknya keadaan ini menggugah DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan) untuk membantu ekspor udang Indonesia ke negara-negara maju agar tak terhambat.

Menurut Dirjen Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran (PK2P), Sumpeno Putro, di Jakarta beberapa waktu lalu, ada sekitar 8 laboratorium yang akan dilengkapi dengan alat-alat canggih ini. Mereka yang kedapatan aalat deteksi ini adalah tempat-tempat yang berlokasi strategis, seperti : Jakarta, Surabaya, Lampung dan Medan.

Langkah ke depan, pengujian bahan antibiotika berbahaya ini tak hanya dilakukan pada udang yang siap di ekspor, tetapi juga meliputi mata rantai prosduksi perikanan . Mulai dari penyediaan pakan, penyiapan lahan, dan sebagainya. Mata rantai produksi dapat dideteksi sejak awal, sehingga bila ada gangguan dalam salah satu mata rantai dapat segera ditanggulangi.

Dan, tentu saja tak hanya udang kualitas ekspor namun juga untuk didalam negeri bila memang antibiotik itu berbahaya. Yang lebih penting lagi, seharusnya ada juga penyuluhan pada para petani tentang masalah bahan antibiotik itu. Jadi,mereka memahami mengapa itu dilarang.